Ada baberapa nama diberikan kepada aliran
tarekat ini. Terkadang disebut Al-Idrisiyyah, nama yang dihubungkan
dengan Sayyid Ahmad bin Idris, namun sering pula disebut Al-Khidiriyyah,
nama yang dikaitkan kepada Nabi Khidir as. Bahkan, Sayyid Muhammad Ali
as-Sanusi dalam bukunya al-Manhalu aI-Raawii al-Raaiq fii Asaaniid al 'Ulum
wa Ushuuli at-Thariiq menyebut tarekat ini dengan Al-Muhammadiyah
juga ada pula catatan yang menyebut tarekat int Ahmadiyah, nama yang
dinisbahkan kepada Ahmad bin Idris.
Sebagaimana Tarekat Sanusiyah, Tarekat Idrisiyah
pun punya banyak pengikut terutama di daerah Afrika seperti Tunisia, Libya,
Yaman dan sebagainya serta daerah-daerah lainnya & seperti Saudi Arabia,
Mesir, dan lain-lain. Adalah para jemaah haji yang sekaligus memperdalam Ilmu
agama di Makkah yang sangat besar peranannya dalam penyebaran tarekat
ini. Ini terjadi karena dalam lebih kurang 36 tahun Syekh Ahmad bin Idris
menjadi guru di Makkah yang setiap kali mengajar selalu diikuti banyak
murid yang berasal dari berbagai negara.
Di Indonesia, Tarekat Idrisiyyah nampaknya
kurang popular jika dibanding dengan tarekat-tarekat lainnya, seperti Tarieat
Qadiriyah, Naqsabandiyah, Syadziliyyah, Samaniyah, Tijaniah, Sanusiyyah, atau
Rifa’iyah. Dalam literatur-literatur Indonesia, tarekat ini jarang
dibicarakan. Buku Pangantar llmu Tarekat (Bulan Bintang, 1985) karangan
Prof. H. Abubakar Atjeh misalnya, hanya sedikit menyinggung tarekat ini. ltupun
tak secara spesifik, melainkan dimasukkan dalam pembahasan mengenai tarekat
Sanusiyah. Padahal, tarekat-tarekat lainnya dibahas secara cukup panjang lebar.
Masuknya Tarekat Idrisiyyah ke Indonesia terjadi
sekitar 1930-an, dengan Asy-Syaikh Al-Akbar Abdul Fatah sebagai tokoh
pertamanya. Beliau lahir di desa Cidahu, Tasikmalaya, pada 1884 M/1303 H. dan
merupakan anak ke-3 dari 10 orang bersaudara dari pasangan H. Muhammad Syarif
bin Umar dan H. Rafi’ah binti Jenah. Nenek moyangnya tokoh ponyebar Islam di P.
Jawa, yaltu Sunan Deraiat.
Suatu hari guru dari Abdul Fatah, Haji Suja'i
membahas Surat Al-Kahfi ayat ke-17, yang artinya "Barang siapa diberi
petunjuk Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk dan barang siapa yang sesat
maka tak akan mendapatkan Wali Mursyid (seorang pemimpin pun yang memberi
petunjuk kepadanya)." Abdul Fatah bertanya siapakah yang dimaksud "waliyyan
mursyida" dalam ayat itu, dan apakah gurunya termasuk "waliyyan.mursyida".
"Bila Ingin mendapatkannya sebaiknya segeralah engkau berangkat untuk
mencarinya," jawab sang guru.
Sejak itu Abdul Fatah meminta izin sekaligus
mencari orang yang disebut "waliyyan.mursyida" itu. Maka, pada
1924 Abdul Fatah sekeluarga berangkat ke Tanah Suci. Namun, sampai di Singapura
kapal yang ditumpanginya mengalami kerusakan. Mereka Ialu menetap di sana
selama beberapa tahun. Barulah pada 1928, ia dapat melanjutkan perjalanannya ke
Makkah. Sampailah ia di Jabal Abu Qubais dan di tempat ini beliau berguru
kepada Syaikh Ahmad Syarif Sanusi. Dari Syaikh inilah ia peroleh ilmu tarekat
yang dikembangkan oleh Syekh Ahmad bin ldris.
Sekembalinya di Indonesia Abdul Fatah
mengembangkan tarekat ini. Mula-mula di daerah Jakarta, Ialu di Cidahu,
Tasikmalaya. Di Cidahu ini dengan cepat ajaran tarekatnya dikenal. Salah satu
yang membuat kelompok tarekat ini cepat mendapat perhatian, karena cara
berpakaian yang menyerupai orang-orang Arab, yaitu pakaian serba putih serta
berjenggot. Karena Itu mereka dijuluki kaum putih dan kaum jenggot.
Seperti gerakan Islam lainnya, gerakan Al-Idrisiyyah
ini pun tak luput dart pengawasan ketat pemerintah kolonial Belanda, apalagi
ajarannya memiliki kemiripan dengan ajaran tarekat Sanusiyah di AIjazair yang
di tuduh marongrong kekuasaan kolonial Perancis. "Syaikh dan
pengikut-pengikutnya itu merupakan musuh sangat berbahaya bagi kekuasaan
Belanda. sekurang-kurangnya sama bahayanya dengan orang-orang golongan Sanusi
terhadap kekuasaan Perancis di AIjazair." tulis Snouck Hurgronje seperti
dikutip Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indoensia. (LP3ES. 1980. hal
29).
Pada masa pendudukan Jepang Tarekat Idrisiyah
malancarkan sikap non-kooperatif-nya. Akibatnya, pemimpinnya, Abdul Fatah,
harus mendekam di tahananan Jepang selama 10 bulan.
Setelah Cidahu dianggap sudah tak memadai lagi
untuk mengembangkan ajaran tarekat Idrisiyyah, maka pada 1947 pusat gerakan
tarekat ini dipindahkan ke desa Pagendingan Cisiyong. Dengan memanfaatkan
tanah warisan istrinya, dibangunlah sebuah masjid dan beberapa pemondokan bagi
santri laki-laki. Ketika maletusnya pemberontakan DI/TII para anggota tarekat
ini terlibat aktif dalam usaha penumpasan pemberontakan tersebut. Kemudian pada
1969 nama pesantren Pagendingan diubah menjadi pesantren Fathiyyah, nama yang
dihubungkan dengan Asy-Syaikh Al-Akbar Abdul Fatah, sang pendiri tarekat Idrisiyyah
Indonesia. Hingga sekarang pesantren Fathiyyah ini merupakan pusat pengembangan
ajaran tarekat Idrisiyyah di bawah pimpinan Syaikh Muhammad Fathurahman, M.Ag.
yang diberi mandat setelah wafatnya Syaikh Al-Akbar Muhammad Daud Dahlan.